Minggu, 05 Juni 2016

Kumbang Jantan

Kemana perginya kumbang jantan?
Di tanah teras, di hutan pinus, di dalam rongrongan sawah
Kemanakah kamu?
Wahai kumbang jantan, aku memburumu
Sedang langkahmu seperti bayi kecoa’ cina
Aku memburumu di pinggir jalan umum
Di trotoar, di terminal, di stasiun, di bandara
Kemana kamu?

Ada rumah tanpa penghuni
Ada kendaraan tanpa pengemudi
Ada benda tanpa pemakai
Dimanakah kini kelima putra Raja Pandu
Sebelum api melahirkan Drupadi
Sebelum sayembara dihadiri Karna putra Surya
Dan sebelum busur melesatkan anak panah
Bagaimana dengan kodrat dan undang-undang dasar?
Atau hak asasi manusia di dalam pasal 28?

Aku merenung di kamar tidur
Ranjang mengunyah seluruh catatan harianku
Aku tertidur dan bermimpi panjang
Dimanakah kamu kumbang jantan?
Kamu menggali lubang di teras rumah
Kemudian merayap ke rumah tetangga
Yang lalu masuk ke ruang tamu lewat jendela
Oh kumbang jantan!
Ku seru kamu melalui ventilasi kamar tidurku

Yang lalu mengepul aroma mimpi dan nafas dengkur

Selasa, 15 April 2014

Bait 3 (Ketika Sebuah Hasrat Telah Sarat dan Difaktakan)


Alifku, Alifku, kekasihku..
Kamu memasuki hidupku, aku memasuki hidupmu
Dengan jiwa yang putus asa serta anggan yang mulai sempoyong, aku  taklukkan kamu

Aku bernyanyi di kamar..
Dan ku jumpai tembok merinding bergetaran
Poster-poster dan kalender turun ke ranjang
Kipas angin kalangkabut ketakutan
Kincirnya lepas hingga terbang memecah kaca jendela
Ku jumpai  gagak tengah bersedih di kursi teras
Parunya merengut karena ia tak bisa berkaca dan berdandan, menyisir jambul ubannya, untuk pergi ke rumah janda idamannya

Ku serukan namanya di saat semut mendaki ke pundak
Ia mendaki terus mendaki serta mengajak kawanannya
Kulitku mulai geli diinjak puluhan kaki-kaki mungilnya
Kaki-kaki dengan garis tapak perjalanan panjang
Alifku, Alifku, Kekasihku..
Ku serukan kamu, aku mencintaimu..

Ketika sebuah hasrat telah sarat dan difaktakan
Nafasku beringas menempuh perjuangan
Telah ku lewati padang ilalang yang kering, kerontang, dan gersang
Telah ku lewati gemuruh ombak di pantai Sanur
Telah ku lewati berabad-abad tahun di bumi
Telah ku lewati zaman purba hingga zaman para leluhur
Telah ku lewati jenggongan anjing pelacak
Tak sia-sia..
Kamu telah mendekat dalam kehinaan hidupku

Bait 2 (Sajak Jatuh Cinta)


Di bawah pohon pinus yang rentah
Ku jumpai cemara memelas menatap rotannya
Jiwa yang mulai lemah, keriput, dan gugur bau tanah
Kemarin lusa tersantap oleh rayap betina
Aku bersandar di bahu tuanya..
Ku dekap ia dan ku cium tengik aromanya

Ku rakit sajak ini ketika kamboja turun di daun mangga
Melayang-layang dan menggelepar lantas tergolek karena bayu yang durhaka
Sang bayu mengamuk karena sesak dadanya
Belibis putih tawanannya tak kan lagi gadis baginya
Percik-percik air pancuran semburat menyentuh lembar karangan
Melunturlah tintanya, mengelirlah hitam di atas judulnya
Cipratannya angkuh bagaikan tumpahan kopi tubruk di majalah

Teruntuk A.A.F
Engkau mengundangku mencium lembab udara nafasmu
Nafasmu yang sekarat seakan mengusik gosipan berudu
Ketika engkau berlari di kaki bumi, bulu matamu jatuh dan kabur
Melayang-layang dan terbawa oleh arus pipa pinggir kali

Kau tahu siapa aku..
Tapi kau tak tahu siapa namaku..
Tiada mengenal dan saling berkenalan

Kau adalah merpati putih tawananku..
Merpati dengan seribu bulu-bulu ghaib
Telah ditegakkan sayap-sayap yang tegas mengitari kepulan awan
Berkelana hingga kepelosok bumi sebrang

Bait 1 (Ketika)


Kamis malam..
Ketika aku memasuki jeruji pagar di pinggir jalan
Ku jumpai angin kalangkabut kesiangan
Menghiraukan kedatangan tanpa membukakan pagar
Ia bergaya dan bersolek di depan kaca riasnya
Dipeganglah sisir dan mulai menyisir rambut klimisnya
Dikenakannya parfum wangi kasturi untuk pergi mengapeli rembulan kekasihnya

Ku jumpai perjaka yang tengah duduk di papan
Ia mengedap-kedapkan bulu matanya yang lentik di bawah neon
Ketika ia hendak berdiri memenuhi jajaran deret nan barisan
Tangannya yang penuh urat melenggang menaruh botol minuman
Kakinya yang hitam, kotor, dan dekil meletakkan sandal jepitnya

Ketika ia berlari mengitari lapangan bersama kawannya
Paving bergetar diikuti longsornya gundukan pasir bangunan
Kerikil semburat meninggalkan gandengan kawannya
Besi-besi berbaring bergetar diinjak puluhan tapak berjamaah
Getarannya berdawai seperti nada kecapi sumbang tuan Samir
Peluh mengundang keringat...
Tumpul-tumpul kaki derasnya menyebrangi alis tebal
Nafas bertalu naik turun..
Gambaran letih mengukur diameter bumi..

Ketika ia memainkan bunga rampai dengan luwes
Seperti lenggang tarian serimpi dengan tabuh gamelan
Rembulan melongo menampakkan mupeng wajahnya
Sang lintang meringis menampilkan gigi emasnya

Ia menajamkan manis rupanya dengan sandang putih dikenakannya
Kulitnya yang coklat seperti sawo matang di alan-alun sebrang
Celana merahnya kelombor dua kali lipat ukuran kaki
Gerilyawannya tergambar oleh goresan oli rantai sepedanya
Mengelir garis kuning celana yang tengah dirobekkan oleh kaitan ujung
Ia pesilat tanah Jawa..

Kamis, 30 Mei 2013

Syair Legam

Mengalir laksana air...
Memekik peluh di sela keheningan
Terjang keras selaksa nan mengendap dalam palung nurani
Menafsir pekat di rimbun lunglai ilalang melambai
Namun, pematang tak izinkan ku berpijak di lini ilalang
Ku coba samakan kemuning agar enggan terseleksi

Oh. . . . Ingin nya ku sandingkan pekat akan benderangnya nurani
Ingin pula ku jamah jingga di kebaratan camar
Pernah ku tebah terikit di lini samudra nan melintang halangi benderang senja
Ku dapati sampan yang kian berlabuh di peraduan ufuk

Debur samudra tak pernah jelangkan hasratku
Meski ombak enggan tercitra sakral berpadu menampar gugusan karang
Menepis sumua benderang nan tercandra di cakrawala jingga

Rembulan kian menyingsing jelangkan kepak kembara emas
Buyar kan kepak nan gugur di gelagah
Namun semua laksana opera sebab mimpi tak tercandra jua dalam arakan langit
Sebuah sendratasik menari indah beralas legam
Gantungkan sutra kelam yang kian bergelayut pada sang pilar bertuah

Siluet itu terbang di hempas sang bayu hingga sematkan kembali gelora perih dalam elegi sukma
Merasuk pudarkan nalar nan melancang membelit ulu nurani
Melepas pasungan sayapku di atas lini lintas panjang
Menyentuh biduk dalam tabir bekuan sunyi
Laraikan silam nyata di tihang sampan
Ku terka kepak yang hendak menerbang ke hulu

Semua selaksa ilusi lenyaplah sudah. .
Terbidik oleh senap pemudar laskar sukma
Nan tlah genap hadir dalam fakta
Perlu ku sangkal gelaga ini tlah legam tertambat kisah
Sakral terungkit di balik tabir purnama berkicau
Purnama istirah di balik arakan temaram nan tengah mengintai diri
Terpotret di raut cakra tersemat lintang membasuh alam
Tepiskan perihku di atas hamparan perdu
Nan jua terselip letih di atas ganggang memilu

Mimpikah ini?
Sebab semua terasa sukar
Membawa tanda tanya kebimbangan pada nalar
Meski rindu tlah rusak mimpi
Mengais laksana kail yang menjerat ufuk
Kejora di lini nuranimu kini tengah terajam oleh rasamu
Menyeruak ke dalam sukma nan meregang di dada

Ah. . . Daku menyepi di lintas tanpa sudut
Terpaku di sekat legam buana
Terpatri dalam legam masa
Mematung di atas tungku nyala kehidupan

Daku menangis di cakrawala
Merintih tersengat perih tamparan karang
Elegi kalbuku tersenandung kini
Mencipta sebuah kidung yang mendenting aksara
Nan tak pernah hadir di mimpi
Mendulang syair dalam putihnya elegi
Bertalu kau ungkap itu..
Terunjuk citra akan syair legammu
Inginnya ku benderangkan akanmu
Ingin ku tampik temaram menyulutkanku
Ku coba kepakkan sayapku nan dulu kau pasung..


Karya : Bayu dan Renita

Kamis, 09 Mei 2013

Kisah Semalam (AAF)


A ksara ini masih sarat akan pilu
A wal sejarah menguntai perjumpaan
F lamboyan layu mengering dibenci waktu
Lalulah membeku sudah nalar menafsir

Silam massa...
Ketika bohlam berkelip di tengah temaram
Pijakan bertalu di bawah rimbun paru alam
Menyemat impresi meronta nurani terjemah laku
Membanting jejak mendekat di peraduan

Kau ucap lelaguan nama disaksi rembulan emas
Mendulang cakap hingga lekuk terbenam menerbit sudah
Sesaat peri itu hadir membawa busur nan panah
Membidik lesat menancap tepat di dalam rongga

Namun, mentari itu kini terbangun dari lelap
Tertegunku saat jemarimu melambai gemulai
Beranjak dari bangku tua yang kian lembab di tampar hujan
Tinggalkan wacana semalam

Begitu sakral nalar ini mendeskripsi
Kisah semalam dalam lembar jalanan
Pekikkan sebait rindu yang tertera di kalbu
Rindukan ceritamu dari sebrang...



#Pa. RAFD

Rabu, 01 Mei 2013

Secangkir Kopi Basih


Kau lelah kan ?
Ya, kulihat pancar netramu mulai sayu
Kau mengantuk kan ?
Tentu ku tahu baru saja kau menguap
Kau ingin merebahkan raga ?
Mungkin akan kau jawab tidak
Secangkir kopi itu cukup menjelaskanku

Kau ingin menikmati kejora bersamaku ?
Malam ini langit keruh, tak ada kejora dalam buana
Itu hanya permintaan konyolmu saja kan ?
Ku paham saat radio itu meramal datangnya cuaca cerah esok

Tidurlah sayang..
Rebahkanlah ragamu dipangkuku
Akan ku jaga lelapmu dari mimpi indahmu
Namun, jika fajar datang di ufuk timur
Aku akan beranjak datangi bandara itu
Akan ku tukar secarik kertas ini dengan perjalanan panjang
Takkan pula sanggup ku bangunkan kau
Aku muak melihat mata indahmu lebam dan berkaca

Jika ku bisa takkan pernah ku beli tiket itu
Secarik kertas bertunai yang membawaku sebrangi pulau bali esok
Jika ku mampu takkan pernah kuseriusi belajarku
Supaya aku tak lulus dan tetap di sini bersamamu
Namun  maaf ku tak bisa...
Masa depan telah memanggilku
Di bandara yang akan terbangkanku ke negeri china

Sudahlah....
Usah kau rebus  air dari teko itu lagi
Usah kau cakup gula dan bubuk kopi itu lagi
Ku tahu persediaan air minummu tinggallah seperempat teko
Ku tahu gula dari toples kaca itu tinggallah sesendok teh
Dan ku tahu  kopi yang kau rebus itu adalah kopi basih

Aku muak  melihatmu seperti itu
Menyembunyikan lelah di balik kedip matamu
Tidurlah kupintahkan !!
Aku takkan pernah beranjak dari mimpimu
Akan ku titipkan rindu itu suatu malam berkejora



#Pa. RAFD